Kamis, 26 November 2009

TATACARAPERIZINAN

KEPMEN 229/MEN/2003
Tentang
TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
LEMBAGA PELATIHAN KERJA
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : KEP. 229/MEN/2003
TENTANG
TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
LEMBAGA PELATIHAN KERJA
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 14, ayat (4) dan pasal 17 ayat (6) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perlu ditetapkan Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga pelatihan kerja;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235.);
3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
5. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
Memperhatikan : 1. Pokok-pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 10 Juli 2003.
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 25 September 2003;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG TATA CARA PERIZINAN DAN PENDAFTARAN LEMBAGA PELATIHAN KERJA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
2. Program pelatihan kerja adalah keseluruhan isi pelatihan yang tersusun secara sistimatis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi pelatihan teori dan praktek, jangka waktu pelatihan, metode dan sarana pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan peserta pelatihan.
3. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standart yang ditetapkan.
4. Lembaga pelatihan kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum atau perorangan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelatihan kerja.
5. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah atau lembaga pelatihan kerja swasta atau perusahaan.
BAB II
PERIZINAN DAN PENDAFTARAN
Pasal 3
(1) Lembaga pelatihan kerja swasta wajib memiliki izin.
(2) Lembaga pelatihan kerja perusahaan yang menyelenggarakan pelatihan tanpa memungut biaya tidak wajib memiliki izin.
Pasal 4
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) diterbitkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menerbitkan izin wajib mempertimbangkan tingkat resiko bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan peserta pelatihan serta lingkungan tempat dilaksanakannya pelatihan kerja.
Pasal 5
(1) Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, wajib mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(2) Lembaga pelatihan kerja perusahaan yang melakukan pelatihan kerja bagi pekerjanya/buruhnya dan/atau melatih masyarakat umum tanpa memungut biaya, wajib mendaftarkan kegiatan program pelatihannya pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Izin dan tanda daftar lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) hanya berlaku di wilayah kerja instansi penerbit izin dan tanda daftar.
BAB III
SYARAT DAN TATA CARA PERIZINAN
Pasal 7
(1) Badan hukun atau perorangan yang akan mendapatkan izin sebagai lembaga pelatihan kerja, mengajukan permohonan dilampiri dengan :
a. copy surat pengesahan sebagai badan hukum atau kartu tanda penduduk bagi pemohon perorangan;
b. copy surat izin gangguan dari instansi yang berwenang;
c. daftar nama yang dilengkapi dengan riwayat hidup penanggung jawab lembaga dan program, tenaga kepelatihan;
d. keterangan domisili lembaga dari kelurahan atau desa setempat;
e. copy surat tanda bukti kepemilikan atau penguasaan prasarana dan fasilitas pelatihan kerja untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sesuai dengan program pelatihan yang akan diselenggarakan;
f. program pelatihan kerja (kurikulum dan silabus);
g. struktur organisasi yang sekurang-kurangnya terdiri dari :
g.1. penanggung jawab lembaga pelatihan kerja;
g.2. penanggung jawab program pelatihan kerja;
g.3. tenaga kepelatihan;
h. copy deposito atas nama penanggung jawab lembaga pelatihan kerja yang besarnya sesuai biaya dengan biaya program pelatihan kerja yang diajukan;
i. surat penunjukan sebagai cabang dan lembaga pelatihan kerja di luar negeri bagi lembaga pelatihan kerja yang merupakan cabang dari lembaga pelatihan kerja di luar negeri.
(2) Untuk menentukan jumlah deposito yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, pemohon harus menyusun biaya program pelatihan kerja berdasarkan struktur anggaran yang akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
Pasal 8
Dalam hal persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) telah dilengkapi, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota melakukan verifikasi untuk membuktikan kebenaran persyaratan.
Pasal 9
(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Tim yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
(2) Tim sebagimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya terdiri dari unsur organisasi lembaga pelatihan, unit kerja yang menangani pelatihan kerja dan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota.
(3) Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pejabat yang berwenang menerbitkan izin lembaga pelatihan kerja dalam waktu paling lama 6 (enam) hari kerja terhitung sejak tanggal selesainya verifikasi.
Pasal 10
(1) Izin lembaga pelatihan kerja dapat diberikan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk waktu yang sama.
(2) Instansi penerbit izin dapat memperpanjang izin lembaga pelatihan kerja apabila lembaga pelatihan kerja tersebut mempunyai kinerja yang baik.
(3) Kriteria penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri
Pasal 11
(1) Bagi lembaga pelatihan kerja yang akan menambah jenis program pelatihan kerja harus mendapat izin penambahan program pelatihan kerja dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Permohonan izin penambahan program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan :
a. kurikulum dan silabus program pelatihan kerja yang baru;
b. daftar nama dan riwayat hidup instruktur pelatihan kerja bagi program yang diusulkan;
c. tanda bukti kepemilikan atau penguasaan prasarana pelatihan kerja (tempat dan gedung) untuk sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun;
d. tanda bukti memiliki fasilitas pelatihan (peralatan, mesin dan fasilitas pendukung lainnya) sesuai dengan program pelatihan yang diusulkan;
e. copy saldo akhir rekening giro lembaga pelatihan kerja yang besarannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
BAB IV
SYARAT DAN TATA CARA PENDAFTARAN
Pasal 12
Pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dengan melampirkan :
a. surat keterangan keberadaan lembaga/unit pelatihan kerja dari instansi yang membawahi/unit pelatihan kerja;
b. struktur organisasi induk dan/atau unit yang menangani pelatihan;
c. nama penanggung jawab;
d. program pelatihan yang diselenggarakan;
e. daftar instruktur dan tenaga kepelatihan lainnya;
f. daftar inventaris sarana dan prasarana pelatihan kerja.
Pasal 13
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota harus menerbitkan tanda daftar paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah seluruh syarat administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipenuhi.
(2) Apabila setelah 7 (tujuh) hari kerja sebagimana dimaksud pada ayat (1) tanda daftar tidak atau belum diterbitkan, maka lembaga pelatihan kerja dapat melaksanakan kegiatan kerja.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 14
(1) Lembaga pelatihan kerja wajib melaporkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota setempat secara periodik 6 (enam) bulan sekali yang tembusannya disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketengakerjaan pada Provinsi dan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri.
(2) Laporan sebagimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat tentang jenis kejuruan, tingkat program pelatihan kerja yang dilaksanakan jumlah peserta dan jumlah lulusan.
BAB VI
PENGHENTIAN SEMENTARA PROGRAM,
PENGHENTIAN PROGRAM DAN PENCABUTAN
IZIN LEMBAGA PELATIHAN KERJA
Pasal 15
(1) Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat menghentikan sementara
pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di dalam pelaksanaannya ternyata :
a. tenaga kepelatihan tidak sesuai dengan program, atau
b. tidak sesuai dengan kurikulum, atau
c. sarana dan prasarana pelatihan kerja tidak sesuai dengan program; atau
d. berkurangnya jumlah deposito atau giro yang dipersyaratkan.
(2) Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku paling lama 6 (enam) bulan
(3) Selama dalam masa penghentian sementara penyelenggara pelatihan kerja dilarang menerima peserta pelatihan kerja baru untuk program pelatihan kerja yang dihentikan sementara.
Pasal 16
(1) Dalam hal penyelenggara pelatihan kerja setelah 6 (enam) bulan masa penghentian sementara masih belum memenuhi kewajiban yang diperintahkan, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dapat menghentikan program pelatihan kerja tersebut.
(2) Penyelenggara pelatihan kerja sebagimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada peserta.
(3) Penyelenggara pelatihan kerja dapat mengajukan kembali program yang telah dihentikan dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal 17
(1) Apabila lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah diperintahkan untuk dihentikan, maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang bersangkutan.
(2) Penyelenggara program pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengembalikan sisa biaya pelatihan kerja kepada seluruh peserta pelatihan.
Pasal 18
Dalam hal lembaga pelatihan kerja tidak melaksanakan program pelatihan kerja selama kurun waktu 1 (satu) tahun terus menerus, instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat mencabut izin lembaga pelatihan kerja yang bersangkutan.
Pasal 19
Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dapat membatalkan tanda daftar lembaga pelatihan kerja milik perusahaan yang melaksanakan program pelatihan kerja bagi masyarakat umum dengan memungut biaya dan lembaga pelatihan kerja tersebut dianggap menyelenggarakan pelatihan kerja tanpa izin.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 20
(1) Instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap lembaga pelatihan kerja.
(2) Bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap program pelatihan kerja, ketersediaan sarana dan fasilitas, ketersediaan kualitas dan tenaga kepelatihan, penerapan metode dan sistem pelaksanaan pelatihan kerja.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-149/MEN/2000 tentang Tata Cara Perizinan Lembaga Pelatihan Kerja dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 22
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 31 Oktober 2003
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
JACOB NUWA WEA

uutki

www.bpkp.go.id
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2004
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA
DI LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
Menimbang:
a. bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan
dijamin penegakannya;
b. bahwa setia tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar
negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;
c. bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia,
termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan
atas harkat dan mertabat menusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;
d. bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik
di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan
sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia;
e. bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk
mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan
dan penghasilan yang layak, yang peleksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan
harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional;
f. bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu
antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam
suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan diluar negeri;
g. bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang ada belum mengatur
secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri;
h. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan
penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan undang-undang;
i. bahwa berdasarkan petimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, perlu membentuk undang-undang tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;
Mengingat:
1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1) dan
ayat (3), Pasal 29 Undang-undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun
2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Mengingat:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA
INDONESIA DI LUAR NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk
jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
www.bpkp.go.id
2. Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagi pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri
dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan.
3. Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat,
dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses
perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan
pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara
tujuan.
4. Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam
mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundangundangan,
baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.
5. Pelaksanan penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis
dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri.
6. Mitra usaha adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di negera tujuan yang
bertanggung jawab menempatkan TKI pada pengguna.
7. Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah,
Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan
yang mempekerjakan TKI.
8. Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan
TKI swasta dengan mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan kewajiban masingmasing
pihak dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI di negara tujuan.
9. Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI
swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam
rangka penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10. Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syaratsyarat
kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.
11. Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu
identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.
12. Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan
suatu negara yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang
bersangkutan.
13. Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin tertulis
yang diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan
TKI swasta.
14. Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disebut SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah
kepada pelaksana penempatan TKI swasta untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu
untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan kepada calon Pengguna tertentu dalam jangka
waktu tertentu.
15. Orang adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum.
16. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indoensia yang terdiri dari Presiden
beserta para Menteri.
17. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak,
demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti
perdagangan manusia.
Pasal 3
Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk:
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawai;
b. menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negari, di negara tujuan, sampai
kembali ke tempat asal di Indonesia;
c. meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.
Pasal 4
Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri.
www.bpkp.go.id
BAB II
TUGAS, TANGGUNG JAWAB, DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH
Pasal 5
(1) Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat
melimpahkan sebagi wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 6
Pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri.
Pasal 7
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal
6 Pemerintah berkewajiban:
a. menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang bersangkutan berangkat melalui
pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;
b. mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
c. membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri;
d. melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara
optimal di negara tujuan; dan
e. memberikan perlindungankepada TKI selama masa sebelumnya pemberangkatan, masa
penempatan, dan masa purna penempatan.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN TKI
Pasal 8
Setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:
a. bekerja di luar negeri;
b. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan
TKI di luar negeri;
c. memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri;
d. memperoleh kebebasan menganut aama dan keyakinannya serta kesempatan untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.
e. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan.
f. memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;
g. memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas
tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak
yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penampatan di luar
negeri;
h. memeproleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat
asal; i. memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli.
Pasal 9
Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk:
a. menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan;
b. menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja;
c. membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
d. memberitahukan atau melaporkan kedatangan keberadaan dan kepulangan TKI kepada
Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.
BAB IV
PELAKSANAAN PENEMPATAN TKI DI LUAR NEGERI
Pasal 10
Pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari:
a. Pemerintah;
b. Pelaksanaan penempatan TKI swasta.
www.bpkp.go.id
Pasal 11
(1) Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf
a, hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan
pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penempatan TKI oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf b wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri.
Pasal 13
(1) Untuk dapat memperoleh SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, pelaksana
penempatan TKI swasta harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan
perundangan-undangan;
b. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan, sekurangkurangnya
sebesar Rp. 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
c. menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito sebesar Rp.
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) pada bank pemerintah;
d. memiliki rencana kerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sekurangkurangnya
untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun berjalan;
e. memiliki unit pelatihan kerja; dan
f. memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI.
(2) Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan jaminan dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, dapat ditinjau kemabli dan diubah dengan Peraturan Menteri.
(3) Ketentuan mengenai penyusunan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
dan bentuk serta standar yang harus dipenuhi untuk sarana dan prasarana pelayanan
penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 14
(1) Izin untuk melaksanakan penempatan TKI di luar negeri diberikan untuk jangka waktu 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun sekali;
(2) Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada pelaksana
penempatan TKI swasta selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan laporan secara periodik kepada
Menteri;
b. telah melaksanakan penempatan sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima persen) dari
rencana penempatan pada waktu memperoleh SIPPTKI;
c. masih memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar yang ditetapkan;
d. memiliki neraca keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir tidak mengalami kerugian yang
diaudit akuntansi publik; dan
e. tidak dalam kondisi diskors.
Pasal 15
Tata cara pemberian dan perpanjangan SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal
13, dan Pasal 14 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16
Deposito hanya dapat dicairkan dalam hal pelaksanaan penempatan TKI swasta tidak memenuhi
kewajiban terhadap calon TKI/TKI sebagaimana telah diperjanjikan dalam perjanjian
penempatan.
Pasal 17
(1) Pelaksanaan penempatan TKI swasta wajib menambah biaya keperluan penyelesaian
perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI apabila deposito yang digunakan tidak mencukupi.
(2) Pemerintah mengembalikan deposito kepada pelaksanan penempatan TKI swasta apabila
masa berlaku SIPPTKI telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi atau SIPPTKI dicabut.
www.bpkp.go.id
(3) Ketentuan mengenai penyetoran, penggunaan, pencairan, dan pengembalian deposito
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
menteri.
Pasal 18
(1) Menteri dapat mencabut SIPPTKI apabila pelaksana penempatan TKI swasta:
a. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, atau;
b. tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dan/atau melanggar larangan
dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar negei yang diatur dalam undang-undang
ini.
(2) Pencabutan SIPPTKI oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi
tanggung jawab pelaksana penampatan TKI swasta terhadap TKI yang telah ditempatkan dan
masih berada diluar negeri.
(3) Tata cara pencabutan SIPPTKI sebagaimana dimaksud pad ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 19
Pelaksanaan penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI
kepada pihak lain.
Pasal 20
(1) Untuk mewakili kepentingannya, pelaksana penampatan TKI swasta wajib mempunyai
perwakilan di negara TKI ditempatkan.
(2) Perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum yang dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan di negara tujuan.
Pasal 21
(1) Pelaksana penempatan TKI swasta dapat membentuk kantor cabang di daerah diluar wilayah
domisili kantor pusatnya.
(2) Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), menjadi tanggungjawab kantor pusat pelaksana penampatan TKI
swasta.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan kantor cabang pelaksana penempatan TKI swata
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 22
Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat memberikan kewenangan kepada kantor cabang
untuk:
a. melakukan penyuluhan dan pendataan calon TKI;
b. meakukan pendaftaran dan seleksi calon TKI;
c. menyelesaikan kasus calon TKI/TKI pada pra atau purna penempatan; dan
d. menandatangani perjanjian penempatan dengan calon TKI atas nama pelaksana penempatan
TKI swasta.
Pasal 23
Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, menjadi tanggungjawab kantor pusat pelaksana
penempatan TKI swasta.
Pasal 24
(1) Penempatan TKI pada Pengguna perseorangan harus melalui Mitra Usaha di negara tujuan.
(2) Mitra Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum yang
didirikan sesuai dengan peraturan perundangan di negara tujuan.
Pasal 25
(1) Perwakilan Republik Indonesia melakukan penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
(2) Hasil penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai pertimbangan Perwakilan Republik Indonesia dalam memberikan
persetujuan atas dokumen yang dipersyaratkan dalam penempatan TKI di luar negeri.
www.bpkp.go.id
(3) Berdasarkan hasil penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Perwakilan Republik Indonesia menetapkan Mitra Usaha dan Pengguna yang
bermasalah dalam daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah.
(4) Pemerintah mengumumkan daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah secara periodik
setiap 3 (tiga) bulan sekali.
(5) Ketentuan mengenai tata cara penilaian dan penetapan Mitra Usaha dan Pengguna baik
bermasalah maupun tidak bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
(1) Selain oleh Pemerintah dan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10, perusahaan dapat menempatkan TKI di luar negeri, untuk kepentingan perusahaan
sendiri atas izin tertulis dari Menteri.
(2) Penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a. perusahaan yang bersangkutan harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum
Indonesia.
b. TKI yang ditempatkan merupakan pekerja perusahaan itu sendiri;
c. perusahaan memiliki bukti hubungan kepemilikan atau perjanjian pekerja yang diketahui
oleh Perwakilan Republik Indonesia.
d. TKI telah memiliki perjanjian kerja.
e. TKI telah diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja dan/atau memiliki
polis asuransi; dan
f. TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN.
(3) Ketentuan mengenai penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.
BAB V
TATA CARA PENEMPATAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 27
(1) Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya
telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau tenaga kerja
asing.
(2) Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pertimbangan
keamana Pemerintah menetapkan negara-negara tertentu tertutup bagi penempatan TKI
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 28
Penempatan TKI pada pekerjaan danjabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 29
(1) Penempatan calon TKI/TKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan
keahlian, ketrampilan, bakat , minat dan kemampuan.
(2) Penempatan calon TKI/TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
memperhatikan harkat, martabat, hak azazi manusia, perlindungan hukum, pemerataan
kesempatan kerja, dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan
nasional.
Pasal 30
Setiap orang dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan serta peraturan perundangundangan,
baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan
tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
www.bpkp.go.id
Bagian Kedua
Pra Penempatan TKI
Pasal 31
Kegiatan pra penempatan TKI di luar negeri meliputi:
a. pengurusan SIP;
b. perekrutan dan seleksi;
c. pendidikan dan pelatihan kerja;
d. pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
e. pengurusan dokumen;
f. uji kompetensi;
g. pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); dan
h. pemberangkatan.
Paragraf 1
Surat Izin Pengerahan
Pasal 32
(1) Pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib memiliki SIP dari
Menteri.
(2) Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus memiliki:
a. perjanjian kerjasama penempatan;
b. surat permintaan TKI dari Pengguna;
c. rancangan perjanjian penempatan; dan
d. rancangan perjanjian kerja.
(3) Surat permintaan TKI dari Pengguna perjanjian kerja sama penempatan, dan rancangan
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d harus
memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di
negara tujuan.
(4) Tata cara penerbitan SIP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 33
Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahkan SIP kepada pihak
lain untuk melakukan perekrutan calon TKI.
Paragraf 2
Perekrutan dan Seleksi
Pasal 34
(1) Proses perekrutan didahuli dengan memberikan informasi kepada calon TKI sekurangkurangnya
tentang:
a. tata cara perekrutan;
b. dokumen yang diperlukan;
c. hak dan kewajiban calon TKI/TKI;
d. situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan; dan
e. tata cara perlindungan bagi TKI.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara lengkap dan benar.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib mendapatkan persetujuan
dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh
pelaksana penempatan TKI swasta.
Pasal 35
Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon
TKI yang telah memenuhi persyaratan:
a. berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon TKI yang akan
dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 ( dua puluh satu)
tahun;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
d. berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau
yang sederajat.
www.bpkp.go.id
Pasal 36
(1) Pencari kerja yang berminat bekerja ke luar negeri harus terdaftar pada instansi pemerintah
kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2) Pendaftaran pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 37
Perekrutan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta dan pencari kerja yang terdaftar
pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1).
Pasal 38
(1) Pelaksana Penempatan TKI swasta membuat dan mendatangani perjanjian penempatan
dengan pencari kerja yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi dalam proses
perekrutan.
(2) Perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui oleh instansi yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Pasal 39
Segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan calon TKI dibebankan dan menjadi
tanggung jawab pelaksana TKI swasta.
Pasal 40
Ketentuan mengenai tata cara perekrutan calon TKI, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Pendidikan dan Pelatihan Kerja
Pasal 41
(1) Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan jabatan.
(2) Dalam hal TKI belum memiliki kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pelaksana penempatan TKI swasta wajib melakukan penddikan dan pelatihan sesuai dengan
pekerjaan yang akan dilakukan.
Pasal 42
(1) Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang
akan dilakukan.
(2) Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
dimaksudkan untuk:
a. membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja calon TKI;
b. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya
agama, dan risiko bekerja di luar negeri;
c. membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahas negara tujuan; dan
d. memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon TKI/TKI.
Pasal 43
(1) Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja swasta
atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan dan
pelatihan kerja.
Pasal 44
Calon TKI memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan
kerja yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43, dalam bentuk sertifikat kompetensi dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang
telah terakreditasi oleh instansi yang berwenang apabila lulus dalam sertifikasi kompetensi kerja.
Pasal 45
Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak lulus dalam uji
kompetensi kerja.
www.bpkp.go.id
Pasal 46
Calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan dilarang untuk dipekerjakan.
Pasal 47
Ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi
Pasal 48
Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui dengan
kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan
yang akan dilakukan di negara tujuan.
Pasal 49
(1) Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang
diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan
psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah.
(2) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI
dan penunjukan sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan
psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 50
Pelaksana penempatatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memenuhi
syarat kesehatan dan psikologi.
Paragraf 5
Pengurusan Dokumen
Pasal 51
Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI barus memiliki dokumen yang meliputi:
a. Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat keterangan kenal
lahir;
b. surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;
c. surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;
d. sertifikat kompetensi kerja;
e. surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
f. paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
g. visa kerja;
h. perjanjian penempatan kerja;
i. perjanjian kerja, dan
j. KTKLN.
Pasal 52
(1) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 buruf b dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh calon TKI dan pelaksana penempatan TKI swasta setelah
calon TKI yang bersangkutan terpilih dalam perekrutan.
(2) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama dan alamat pelaksana penempatan TKI swasta;
b. nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan alamat calon TKI;
c. nama dan alamat calon Pengguna;
d. hak dan kewajiban para pihak dalam rangka penempatan TKI di luar negeri yang harus
sesuai dengan kesepakatan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh calon Pengguna
tercantum dalam perjanjian kerjasama penempatan;
e. jabatan dan jenis pekerjaan calon TKI sesuai permintaan pengguna;
f. jaminan pelaksana penempatan TKI swasta kepada calon TKI dalam hal ini Pengguna
tidak memenubi kewajibannya kepada TKI sesuai perjanjian kerja;
g. waktu keberangkatan calon TKI;
h. hanya penempatan yang barus ditanggung oleh calon TKI dan cara pembayarannya;
i. tanggungjawab pengurusan penyelesaian musibah;
j. akibat atas terjadinya pelanggaran perjanjian penempatan TKI oleh salah satu pihak, dan
www.bpkp.go.id
k. tanda tangan para pihak dalam perjanjian penempatan TKI.
(3) Ketentuan dalam perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat
sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) dengan bermaterai cukup dan masing-masing pihak
mendapat 1 (satu) perjanjian penempatan TKI yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Pasal 53
Perjanjian penempatan TKI tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan
para pihak.
Pasal 54
(1) Pelaksanana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap perjanjian penempatan TKI
kepada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang
ketenagakerjaan.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan melampirkan copy atau
salinan perjanjian penempatan TKI.
Bagian Ketiga
Perjanjian Kerja
Pasal 55
(1) Hubungan kerja antara Pengguna dan TKI terjadi setelah perjanjian kerja disepakati dan
ditandatangi oleh para pihak.
(2) Setiap TKI wajib menandatangani perjanjian kerja sebelum TKI yang bersangkutan
diberangkatkan ke luar negeri.
(3) Perjanjian kerja ditanda tangani di hadapan pejabat instansi yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan.
(4) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disiapkan oleh pelaksana penempatan
TKI swasta.
(5) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama dan alamat pengguna;
b. nama dan alamat TKI;
c. jabatan dan jenis pekerjaan TKI;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja, upah, dan tata cara pembayaran, baik
cuti dan waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial; dan
f. jangka waktu perpanjangan kerja.
Pasal 56
(1) Perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk jabatan atau jenis pekerjaan tertentu.
(3) Ketentuan mengenai jabatan atau jenis pekerjaan tertentu yang dikecualikan dari jangka
waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan
peraturan Menteri.
Pasal 57
(1) Perpanjangan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1),
dapat dilakukan oleh TKI yang bersangkuatn atau melalui pelaksana penempatan TKI swasta.
(2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disepakati oleh para pihak
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum perjanjian kerja pertama berakhir.
Pasal 58
(1) Perjanjian kerja dan jangka waktu perpanjangan perjanjian kerja wajib mendapat persetujuan
dari pejabat berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.
(2) Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab pelaksana penempatan TKI swasta.
www.bpkp.go.id
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan perjajian kerja dan
perpanjangan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 59
TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan
memperpanjang perjanjian kerja TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke
Indonesia.
Pasal 60
Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana
penempatan TKI swasta tidak bertanggungjawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa
perpanjangan perjanjian kerja.
Pasal 61
Bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, apabila selama masa berlakunya perjanjian
kerja terjadi perubahan jabatan atau jenis pekerjaan, atau pindah Pengguna, maka perwakilan
pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengurus perubahan perjanjian kerja dengan membuat
perjanjian kerja baru dan melaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia.
Pasal 62
(1) Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri, wajib memiliki dokumen KTKLN yang
dikeluarkan oleh Pemerintah.
(2) KTKLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai kartu identitas TKI selama
masa penempatan TKI di negara tujuan.
Pasal 63
(1) KTKLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 hanya dapat diberikan apabila TKI yang
bersangkutan:
a. telah memenuhi persyaratan dokumen penempatan TKI di luar negeri;
b. telah mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); dan
c. telah diikutsertakan dalam perlindungan program asuransi.
(2) Ketentuan mengenai bentuk, persyaratan, dan tata cara memperoleh KTKLN diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.
Pasal 64
Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memiliki
KTKLN.
Pasal 65
Palaksana penempatan TKI swasta bertanggungjawab atas kelengkapan dokumen penampatan
yang diperlukan.
Pasal 66
Pemerintah wajib menyediakan pos-pos pelayanan di pelabuhan pemberangkatan dan
pemulangan TKI yang dilengkapi fasilitas yang memenuhi syarat.
Pasal 67
(1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah
memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sesuai
dengan perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2).
(2) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap keberangkatan calon TKI kepada
Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.
(3) Pemberangkatan TKI ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
melalui tempat pemeriksaan imigrasi yang terdekat.
Pasal 68
(1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib menginstruksikan TKI yang diberangkatkan ke luar
negeri dalam program asuransi.
(2) Jenis program asuransi yang wajib diikuti oleh TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
www.bpkp.go.id
Pasal 69
(1) Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke
luar negeri dalam pembekalan akhir pemberangkatan.
(2) Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dimaksudkan untuk memberikan pemahaman
pendalaman terhadap:
a. peraturan perundang-undangan di negara tujuan; dan
b. materi perjanjian kerja.
(3) Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) menjadi tanggung jawab Pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Masa Tunggu di Penampungan
Pasal 70
(1) Pelaksana penempatan TKI swasta dapat menampung calon TKI sebelum pemberangkatan.
(2) Lamanya penampungan disesuaikan dengan jabatan dan/atau jenis pekerjaan yang akan
dilakukan di negara tujuan.
(3) Selama masa penampungan, pelaksana penempatan TKI swasta wajib memperlakukan calon
TKI secara wajar dan manusiawi.
(4) Ketentuan mengenai standar tempat penampungan dan lamanya penampungan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Masa Penempatan
Pasal 71
(1) Setiap TKI wajib melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di
negera tujuan.
(2) Kewajiban untuk melaporkan kedatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi TKI
yang bekerja pada Pengguna Perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.
Pasal 72
Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan TKI yang tidak sesuai dengan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perjanjian kerja yang disepakati dan
ditandatangani TKI yang bersangkutan.
Bagian Keenam
Purna Penempatan
Pasal 73
(1) Kepulangan TKI terjadi karena:
a. berakhirnya masa perjanjian kerja;
b. pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir;
c. terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan;
d. mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisa menjalankan pekerjaannya
lagi;
e. meninggal dunia di negara tujuan;
f. cuti; atau
g. dideportasi oleh pemerintah setempat.
(2) Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
e, pelaksana penampatan TKI berkewajiban:
a. memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling lama 3 (tiga) kali 24
(dua puluh empat) jam sejak diketahuinya kematian tersebut;
b. mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan memberikannya kepada pejabat
Perwakilan Republik Indonesia dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan;
c. memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung
semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama
TKI yang bersangkutan;
d. mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas persetujuan pihak keluarga
TKI atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku de negara yang bersangkutan;
www.bpkp.go.id
e. memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota
keluarganya; dan
f. mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima.
(3) Dalam hal terjadi perang, bencana alam, wabah penyakit, dan deportasi sebagaimana dimasud
pada ayat (1) huruf c, dan huruf g, Perwakilan Republik Indonesia, Badan Nasional
Penempatan kepulangan TKI sampai ke daerah asal TKI.
Pasal 74
(1) Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada
Perwakilan Republik Indonesia negera tujuan.
(2) Pelaporan bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan oleh pelaksana
penempatan TKI swasta.
Pasal 75
(1) Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab
pelaksana penempatan TKI.
(2) Pengurusan kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hal:
a. pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI;
b. pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan
c. pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihakpihak
lain yang tidak bertanggungjawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.
(3) Pemerintah dapat mengatur kepulangan TKI.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulangan TKI sebagaiman dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pembiayaan
Pasal 76
(1) Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat membebankan biaya penempatan kepada
calon TKI untuk komponen biaya:
a. pengurusan dokumen jati diri;
b. pemeriksaan kesehatan dan psikologi; dan
c. pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja.
(2) Biaya selain biaya sebagaiman dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri.
(3) Komponen biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus transparan dan
memenuhi asas akuntabilitas.
BAB VI
PERLINDUNGAN TKI
Pasal 77
(1) Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai dari pra penempatan,
masa penempatan, sampai dengan purna penempatan.
Pasal 78
(1) Perwakilan Republik Indonesia memberikan perlindungan terhadap TKI di luar negeri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan serta hukum dan kebiasaan intemasional.
(2) Dalam rangka perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintah dapat menetapkan jabatan Atase
Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia tertentu.
(3) Penugasan Atase Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 79
Dalam rangka pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri, Perwakilan
Republik Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan pelaksana
penempatan TKI swasta dan TKI yang ditempatkan di luar negeri.
www.bpkp.go.id
Pasal 80
(1) Dengan pertimbangan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:
a. pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional;
b. pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan
perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.
(2) Ketentuan mengenai pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 81
(1) Dengan pertimbangan untuk melindungi calon TKI/TKI, pemerataan kesempatan kerja
dan/atau untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan nasional,
Pemerintah dapat menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI di luar negeri untuk
negara tertentu atau penempatan TKI pada jabatan-jabatan tertentu di luar negeri.
(2) Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pemerintah memperhatikan saran dan pertimbangan Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI.
(3) Ketentuan mengenai penghentian dan pelarangan penempatan TKI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 82
Pelaksana penempatan TKI swasta bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan kepada
calon TKI/TKI sesuai dengan perjanjian penempatan.
Pasal 83
Setiap calon TKI/TKI yang bekerja ke luar negeri baik secara perseorangan maupun yang
ditempatkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikuti program pembinaan dan
perlindungan TKI.
Pasal 84
Program pembinaan dan perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENYELESAIAN PERSELISlHAN
Pasal 85
(1) Dalam hal terjadi sengketa antara TKI dengan pelaksana penempatan TKI swasta mengenai
pelaksanaan perjanjian penempatan, maka kedua belah pihak mengupayakan penyelesaian
secara damai dengan cara bermusyawarah.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah
pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota, Provinsi atau Pemerintah.
BAB VIII
PEMBINAAN
Pasal 86
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berkenan dengan
penyelenggaraan Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri.
(2) Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat
mengikutsertakan pelaksana penempatan TKI swasta, organisasi dan/atau masyarakat.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan secara terpadu
dan terkoordinasi.
Pasal 87
Pembinaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, dilakukan dalam bidang:
a. Informasi;
b. sumber daya manusia; dan
c. perlindungan TKI.
www.bpkp.go.id
Pasal 88
Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf
a, dilakukan dengan:
a. membentuk sistem dan jaringan informasi yang terpadu mengenai pasar kerja luar negeri
yang dapat diakses secara meluas oleh masyarakat;
b. memberikan informasi keseluruhan proses dan prosedur menganai penempatan TKI di luar
negeri termasuk resiko bahaya yang mungkin terjadi selama masa penempatan TKI di luar
negeri;
Pasal 89
Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 87 huruf b, dilakukan dengan:
a. meningkatkan kualitas keahlian dan/atau keterampilan kerja calon TKI/TKI yang akan
ditempatkan di luar negeri termasuk kualitas kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing;
b. membentuk dan mengembangkan pelatihan kerja yang sesuai dengan standar dan persyaratan
yang ditetapkan.
Pasal 90
Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal
87 huruf c, dilakukan dengan:
a. memberikan bimbingan dan advokasi bagi TKI mulai dari pra penempatan, masa penempatan
dan purna penempatan;
b. memfasilitasi penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI dengan Pengguna
dan/atau pelaksana penempatan TKI;
c. Menyusun dan mengumumkan daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah secara berkala
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan kerjasama internasional dalam rangka perlindungan TKI sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 91
(1) Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telab berjasa
dalam pembinaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam,
uang, dan/atau bentuk lainnya.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 92
(1) Pengawasan terbadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri
dilaksanakan oleb instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri
dilaksanakan oleb Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.
(3) Pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebib lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 93
(1) Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melaporkan basil pelaksanaan pengawasan terhadap
pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai
dengan tugas, fungsi dan wewenangnya kepada Menteri.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri.
BAB X
BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI
Pasal 94
(1) Untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri, diperlukan pelayanan dan tanggungjawab yang terpadu.
www.bpkp.go.id
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan TKI
(3) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
merupakan lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden
yang berkedudukan di Ibukota Negara.
Pasal 95
(1) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94
mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi.
(2) Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas:
a. melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan
Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan bukum di negara tujuan
penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
b. memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai:
1) dokumen;
2) pembekalan akhir pemberangkatan (PAP);
3) penyelesaian masalah;
4) sumber-sumber pembiayaan;
5) pemberangkatan sampai pemulangan;
6) peningkatan kualitas calon TKI;
7) informasi;
8) kualitas pelaksana penempatan TKI; dan
9) peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya
Pasal 96
(1) Keanggotaan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI terdiri dari wakil-wakil
instansi Pemerintah terkait.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) dapat melibatkan tenaga-tenaga profesional.
Pasal 97
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 98
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan pelayanan penempatan TKI, Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI membentuk Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI di Ibukota
Provinsi dan/atau tempat pemberangkatan TKI yang dianggap perlu.
(2) Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI.
(3) Pemberikan pelayanan pemrosesan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
bersama-sama dengan instansi yang terkait.
Pasal 99
(1) Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Badan.
(2) Tata cara pembentukan dan susunan organisasi Balai Pelayanan Penempatan dan
Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Kepala Badan.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 100
(1) Menteri menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), Pasal
33, Pasal 34 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), Pasal
58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat (1), Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 69 ayat (1),
Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73 ayat (2), Pasal 74, Pasal 76 ayat (1), Pasal 82, Pasal 83, atau
Pasal 105.
www.bpkp.go.id
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempatan TKI;
c. pencabutan izin;
d. pembatalan keberangkatan calon TKI; dan/atau
e. pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 101
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus
sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukam penyidikan tindak pidana sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan tentang tindak di bidang penempatan dan
perlindungan TKI.
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
penempatan dan perlindungan TKI;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
penempatan dan perlindungan TKI;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang penempatan dan perlindungan TKI;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang
adanya tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI.
(3) Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 102
(1) Dipidana dengan penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang:
a. Menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4;
b. Menempatkan TKI tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; atau
c. Menempatkan calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 103
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. l.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orang yang:
a. mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
b. mengalihkan atau memindahtangankan SIP kepada pihak lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33;
c. melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35;
www.bpkp.go.id
d. menempatkan TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45;
e. menempatkan TKI tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan psikologi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50;
f. menempatkan calon TKI/TKI yang tidak memiliki dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51;
g. menempatkan TKI di luar negeri tanpa perlindungan program asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 68; atau
h. memperlakukan calon TKI secara tidak wajar dan tidak manusiawi selama masa di
penampungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 104
(1) Dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), setiap orang yang:
a. menempatkan TKI tidak melalui Mitra Usaha sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal
24;
b. menempatkan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri tanpa izin tertulis
dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1);
c. mempekerjakan calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46;
d. menempatkan TKI di Luar Negeri yang tidak memiliki KTKLN sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64; atau
e. tidak memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 105
(1) TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan melapor pada instansi Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dan Perwakilan Republik Indonesia.
(2) Selain dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri, TKI yang bekerja di luar negeri
secara perseorangan harus memiliki KTKLN.
Pasal 106
(1) TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan berhak untuk memperoleh perlindungan.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perwakilan Republik
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 107
(1) Pelaksana penempatan TKI swasta yang telah memiliki izin penempatan TKI di luar negeri
sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam
Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Bagi pelaksana penempatan TKI swasta yang menempatkan TKI sebelum berlakuknya
Undang-Undang ini, maka Jangka waktu penyesuaian terhitung mulai sejak Undang-Undang
ini berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja TKI terakhir yang ditempatkan
sebelum berlakunya Undang-Undang ini.
(3) Apabila pelaksana penempatan TKI swasta dalam jangka waktu yang ditentukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyesuaikan persyaratan-persyaratan yang diatur
dalam Undang-undang ini, maka izin pelaksana penempatan TKI swasta yang bersangkutan
dicabut oleh Menteri.
Pasal 108
Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 94 ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-
Undang ini.
www.bpkp.go.id
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 109
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 133
www.bpkp.go.id
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2004
TENTANG
PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN
TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
I. UMUM
Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap
orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan
seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Dapat juga
dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri sehingga seseorang merasa hidupnya
menjadi lebih berharga baik bagi dirinya, keluarganya maupun lingkungannya. Oleh karena
itu hak atas pekerjaan merupakan hak azasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib
dijunjung tinggi dan dihormati.
Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap
Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, keterbatasan akan lowongan kerja di dalam negeri
menyebabkah banyaknya warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari
tahun ke tahun jumlah mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat. Besarnya
animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besamya jumlah TKI yang sedang
bekerja di luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah
penggangguran di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko
kemungkinan terjadinya perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI.
Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di
luar negeri, maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian perlu dilakukan
pengaturan agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana
disebutkan di atas dapat dihindari atau minimal dikurangi.
Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah
ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga
kerja secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit-belit dan
aman. Pengaturan yang bertentangan dengan tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga
kerja illegal yang tentunya berdampak kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang
bersangkutan.
Sejalan dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan
besarnyaa jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus
perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus
yangn berkaitan dengan nasib TKI semakin beragama dan bahkan berkembang kearah
perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undang yang menjadi dasar acuan
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan
Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887
Nomor 8) dan Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam
ordonansi sangat sederhana/sumir sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang
berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adanya undang-undang yang mengatur
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri selama ini diatasi melalui pengaturan dalam
Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Negeri
dinyatakan tidak berlaku lagi dan diamanatkan penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur
dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan melalui undang-undang tersendiri, diharapkan
mampu merumuskan norma-norma hukum yang melindungi TKI dari berbagai upaya dan
perlakuan eksploitatif dari siapapun.
Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, maka Undang-undang ini intinya harus memberi perlindungan warga
negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan, khususnya pekerjaan di
luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat
dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun
martabatnya.
www.bpkp.go.id
Dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan
dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka sudah
sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan
kewenangan Pemerintah. Namun Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu
melibatkan Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta institusi swasta. Di lain pihak
karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung berhubungan
dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat azasi bagi manusia, maka institusi
swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, baik dari aspek komitmen,
profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-hak azasi warga negara yang
bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi.
Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah negaranya merupakan orang pendatang atau
orang asing di negara tempat ia bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di
negara tersebut, pada kondisi yang mungkin di luar dugaan atau harapan ketika mereka masih
berada di tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut kita harus mengakui bahwa pada
kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga kerja itu
sendiri, sehingga kita tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan tertentu
bagi tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri. Pembatasan yang utama adalah
keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di luar negeri. Dengan
adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat diminimalisasikan kemungkinan eksploitasi
terhadap TKI.
Pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana yang, diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat dilakukan oleh
setiap warga negara secara perseorangan. Terlebih lagi dengan mudahnya memperoleh
informasi yang berkaitan dengan kesempatan kerja yang ada di luar negeri. Kelompok
masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi informasi tentunya mereka yang mempunyai
pendidikan atau keterampilan yang relatif tinggi. Sementara bagi mereka yang mempunyai
pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah yang dampaknya mereka biasanya
dipekerjakan pada jabatan atau pekerjaan-pekerjaan “kasar”, tentunya memerlukan
pengaturan berbeda dari pada mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih
tinggi. Bagi mereka lebih diperlukan campur tangan Pemerintah untuk memberikan
pelayanan dan perlindungan yang maksimal.
Perbedaan pelayanan atau perlakuan bukan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok
dengan kelompok masyarakat lainnya, namun justru untuk menegakkan hak-hak warga
negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Oleh karena itu dalam Undang-undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan
TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi.
Telah dikemukakan di atas bahwa pada umumnya masalah yang timbul dalam penempatan
dalah berkaitan dengan hak azasi manusia, maka sanksi-sanksi yang dicantumkan dalam
Undang-undang ini, cukup banyak berupa sanksi pidana. Bahkan tidak dipenuhinya
persyaratan salah satu dokumen perjalanan, sudah merupakan tindakan pidana. Hal ini
dilandasi pemikiran bahwa dokumen merupakan bukti utama bahwa tenaga kerja yang
bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri. Tidak adanya satu saja
dokumen, sudah beresiko tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau illegal untuk
bekerja di negara penempatan. Kondisi ini membuat tenaga kerja yang bersangkutan rentan
terhadap perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang eksploitatif lainnya di negara
tujuan penempatan.
Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan perundang-undangan, termasuk
didalamnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961
mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler,
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus
(Special Missions) Tahun 1969, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri, Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI pada
jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi
hak-hak TKI. Dengan demikian Undang-undang ini diharapkan disamping dapat menjadi
instrumen perlindungan bagi TKI baik selama masa pra penempatan, selama masa bekerja di
luar negeri maupun selama masa kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi
instrumen peningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Menempatkan warga negara Indonesia dalam Pasal ini mencakup perbuatan dengan sengaja
memfasilitasi atau mengangkut atau memberangkatkan warga negara Indonesia untuk bekerja
pada Pengguna di luar negeri baik dengan memungut biaya maupun tidak dari yang
bersangkutan. Pasal 5
Ayat (1)
Penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilakukan secara
seimbang oleh Pemerintah dan masyarakat. Agar penyelenggaraan penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri tersebut dapat berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah
perlu mengatur, membina, dan mengawasi pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pelaksana penempatan TKI swasta sebelum berlakunya Undang-undang ini disebut dengan
Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Jaminan bank dalam bentuk deposito atas nama Pemerintah dimasudkan agar ada jaminan
untuk biaya keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI di dalam negeri
dan/atau TKI dengan Pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI swasta atau
menyelesaikan kewajiban dan tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta yang masih
ada karena izin dicabut atau izin tidak diperpanjang atau TKI tersebut tidak diikutkan dalam
program asuransi.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan sarana prasarana pelayanan penempatan TKI antara lain tempat
penampungan yang layak, tempat latihan kerja, dan kantor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Yang dimaksud dengan mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI adalah yang dalam
praktek sering disebut dengan istilah “jual bendera” atau "numpang proses". Apabila hal ini
ditolerir, akan membuat kesulitan untuk mencari pihak yang harus bertanggungjawab dalam
hal terjadi permasalahan terhadap TKI.
Pasal 20
Ayat (1)
Pembentukan perwakilan dapat dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pelaksana
penempatan TKI swasta.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Kantor cabang dapat dibentuk di Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pengguna perseorangan dalam Pasal ini adalah orang perseorangan yang mempekerjakan TKI
pada pekerjaan-pekerjaan antara lain sebagai penata laksana rumah tangga, pengasuh bayi
atau perawat manusia lanjut usia, pengemudi, tukang kebun/taman. Pekerjaan-pekerjaan
tersebut biasa disebut sebagai pekerjaan di sektor informal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persetujuan Perwakilan Republik Indonesia meliputi dokumen perjanjian kerja sama
penempatan, surat permintaan TKI, dan perjanjian kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
www.bpkp.go.id
Perlindungan asuransi yang dimaksud dalam huruf ini sedikit-dikitnya sama dengan Program
Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pertimbangan keamanan pada ayat ini antara lain negara tujuan
dalam keadaan perang, bencana alam, atau terjangkit wabah penyakit menular.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan pekerjaan atau jabatan tertentu dalam Pasal ini antara lain pekerjaan
sebagai pelaut.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pelatihan kerja bagi calon TKI dapat dilakukan oleh lembaga pelatihan maupun unit pelatihan
yang dimiliki pelaksana penempatan TKI swasta.
Huruf d
Pemeriksaaan psikologis dimaksudkan agar TKI tidak mempunyai hambatan psikologis
dalam melaksanakan pekerjaannya di negara tujuan.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Surat permintaan TKI dari Pengguna dalam huruf ini dikenal dengan sebutan job order,
demand letter atau makalah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
www.bpkp.go.id
Agar informasi dapat diterima secara benar oleh masyarakat, harus digunakan bahasa yang
mudah dipahami.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Huruf a
Dalam prakteknya TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai
hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang
bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual. Mengingat hal itu,
maka pada pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek
kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat
diminimalisasi.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Ketentuan dalam Pasal ini berarti bahwa pelaksana penempatan TKI swasta tidak dibenarkan
melakukan perekrutan melalui calo atau sponsor baik warga negara Indonesia maupun warga
negara asing.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan mampu berkomunikasi dengan bahasa asing adalah mampu
menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan di negara tujuan.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Yang dimaksud dengan sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat
kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang
mengacu pada standar kompetensl nasional dan/atau internasional.
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Ayat (1)
www.bpkp.go.id
Sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan dari psikologi
dalam ketentuan ini dapat merupakan milik Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan/atau
masyarakat yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Paspor diterbitkan setelah mendapat rekomendasi dari dinas yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota setempat.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Jaminan yang dimaksudkan dalam huruf ini adalah pernyataan kesanggupan dari pelaksana
penempatan TKI swasta untuk memenuhi janjinya terhadap calon TKI yang ditempatkannya.
Misalnya, apabi1a dalam perjanjian penempatan pelaksana penempatan TKI swasta
menjanjikan bahwa calon TKI yang bersangkutan akan dibayar sejumlah tertentu oleh
Pengguna, dan ternyata dikemudian hari Pengguna tidak memenuhi sejumlah itu (yang
tentunya dicantumkan dalam perjanjian kerja), maka pelaksana penempatan TKI swasta harus
membayar kekurangannya.
Demikian pula apabila calon TKI dijanjikan akan diberangkatkan pada tanggal tertentu
namun temyata sampai pada waktunya tidak diberangkatkan, maka pelaksana penempatan
TKI swasta wajib mengganti kerugian calon TKI karena keterlambatan pemberangkatan
tersebut. Dengan dimuatnya klausul perjanjian penempatan seperti ini, maka pelaksana
penempatan TKI swasta didorong untuk mencari dan menempatkan calonTKI pada Pengguna
yang tepat.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Dalam perjanjian penempatan dapat diperjanjikan bahwa apabila TKI setelah ditempatkan
ternyata mengingkari janjinya dalam perjanjian kerja dengan Pengguna yang akibatnya
pelaksana penempatan TKI swasta menanggung kerugian karena dituntut oleh Pengguna
akibat perbuatan TKI tersebut, maka dalam perjanjian penempatan dapat diatur bahwa TKI
yang melanggar perjanjian kerja harus membayar ganti rugi kepada pelaksana penempatan
TKI swasta.
Demikian pula dapat diatur sebaliknya bahwa apabila pelaksana penempatan TKI swasta
mengingkari janjinya kepada TKI, maka dapat diperjanjikan bahwa pelaksana penempatan
TKI swasta harus membayar ganti rugi kepada TKI.
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Oleh karena proses pengurusan dokumen atau pemeriksaan kesehatan calon TKI
membutuhkan waktu yang relatif lama, dan mengingat pelaksanaan pelatihan kerja pada
umumnya dipusatkan pada lokasi tertentu sehingga untuk kelancaran pelaksanaan pendidikan
dan pelatihan mereka dapat tinggal di penampungan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
www.bpkp.go.id
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Pada dasarnya kewajiban untuk melaporkan diri sebagai seorang warga negara yang berada di
negara asing merupakan tanggung jawab orang yang bersangkutan. Namun, mengingat lokasi
penempatan yang tersebar, pelaksanaan kewajiban melaporkan diri dapat dilakukan oleh
pelaksana penempatan TKI swasta.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Penempatan TKI yang tidak sesuai dengan pekerjaan dalam ketentuan perjanjian kerja,
misalnya di dalam perjanjian kerja TKI tersebut dipekerjakan dalam jabatan baby sitter
(pengaguh bayi), maka pelaksana penempatan TKI swasta tersebut dilarang menempatkan
pada jabatan selain jabatan yang tercantum dalam perjanjian kerja dimaksud.
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat(1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Setiap negara tujuan atau Pengguna dapat menetapkan kondisi untuk mempekerjakan tenaga
kerja aging di negaranya. Oleh karena itu terdapat kemungkinan adanya tambahan biaya
lainnya yang menjadi beban calon TKI. Agar calon TKI tidak dibebani biaya yang
berlebihan, maka komponen biaya yang dapat ditambahkan serta besarnya biaya, untuk
dibebankan kepada calon TKI.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia tertentu,
dibahas dan dilakukan bersama oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hubungan
luar negeri, Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan, Menteri yang bertanggung
jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara, dan Menteri yang bertanggungjawab di
bidang ketenagakerjaan. Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Pemerintah termasuk di dalamnya Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan TKI dan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI.
www.bpkp.go.id
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4445

Rabu, 25 November 2009

Permen 23 DepnakertranRI

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR PER.23/MEN/IX/2009
TENTANG
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KERJA
BAGI CALON TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, perlu mengatur pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja Indonesia di luar negeri;
b. bahwa pengaturan pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam huruf a, merupakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4445);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4408);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4637);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
6. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.225/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER. 17/MEN/VII/ 2007 tentang Tata Cara Perizinan dan Pendaftaran Lembaga Pelatihan Kerja;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KERJA BAGI CALON TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Calon Tenaga Kerja Indonesia, yang selanjutnya disebut calon TKI, adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
2. Pendidikan dan pelatihan kerja calon TKI, yang selanjutnya disebut diklat calon TKI, adalah proses pelatihan kerja untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan.
3. Program diklat calon TKI adalah keseluruhan isi pendidikan dan pelatihan yang tersusun secara sistimatis dan memuat tentang kompetensi kerja yang ingin dicapai, materi pelatihan teori dan praktik, jangka waktu pelatihan, metode, sarana pelatihan, persyaratan peserta dan tenaga kepelatihan serta evaluasi dan penetapan kelulusan peserta pelatihan.
4. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang ditetapkan.
5. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat SKKNI, adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan/atau keahlian, serta sikap kerja yang relevan dengan
2
pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang undangan.
6. Standar Internasional adalah standar kompetensi kerja yang disusun, dikembangkan, dan digunakan oleh dua negara atau lebih yang ditetapkan oleh suatu forum organisasi yang bersifat multinasional berskala regional dan/atau internasional.
7. Standar Khusus adalah standar kompetensi kerja yang disusun, dikembangkan, dan digunakan oleh instansi/perusahaan/organisasi atau memenuhi tujuan internal organisasinya sendiri atau untuk memenuhi kebutuhan organisasinya.
8. Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistimatis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai SKKNI, standar Internasional, dan/atau standar khusus.
9. Uji kompetensi adalah kegiatan penilaian atas kompetensi yang dimiliki oleh seseorang yang merujuk pada standar kompetensi bidang dan jenjang profesi tertentu.
10. Akreditasi adalah pengakuan status program pelatihan kerja berbasis kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja melalui penilaian yang dilakukan oleh lembaga akreditasi pelatihan kerja berdasarkan kriteria standar yang ditetapkan.
11. Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta, yang selanjutnya disingkat PPTKIS, adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Menteri untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri.
12. Analisis Kebutuhan Pelatihan adalah kegiatan yang sistematis untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai pelatihan yang harus diberikan kepada peserta pelatihan karena adanya kesenjangan antara kompetensi yang telah dimiliki calon peserta pelatihan dengan kompetensi yang harus dimiliki setelah selesai mengikuti pelatihan.
13. Pembinaan adalah kegiatan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik untuk meningkatkan dan mengembangkan semua kegiatan yang berhubungan dengan diklat calon TKI.
14. Dinas kabupaten/kota adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
15. Dinas provinsi adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi.
16. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang Pelatihan Kerja di lingkungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
17. Menteri adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pasal 2
Peraturan Menteri ini mengatur diklat calon TKI yang akan bekerja di luar negeri yang ditempatkan oleh PPTKIS atau Pemerintah.
Pasal 3
Setiap calon TKI yang akan bekerja di luar negeri wajib memiliki kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan jabatan.
3
Pasal 4
(1) Untuk mencapai kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dilakukan melalui diklat calon TKI.
(2) Diklat calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada standar kompetensi kerja yang telah ditetapkan.
(3) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan:
a. SKKNI;
b. Standar Internasional; atau
c. Standar Khusus.
BAB II
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Diklat Calon TKI
Pasal 5
Peserta diklat calon TKI yang akan bekerja di luar negeri sekurang-kurangnya harus memenuhi syarat:
a. berusia 18 tahun;
b. memiliki ijasah pendidikan terakhir;
c. sehat jasmani dan rohani sesuai kebutuhan jabatan;
d. telah lulus seleksi administrasi dan/atau teknis; dan
e. untuk jabatan tertentu memiliki dasar pengalaman atau kompetensi.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Diklat Calon TKI
Pasal 6
(1) Penyelenggaraan diklat calon TKI dapat dilaksanakan oleh:
a. lembaga pelatihan kerja pemerintah;
b. lembaga pelatihan kerja swasta;
c. lembaga pelatihan perusahaan; atau
d. lembaga pelatihan milik PPTKIS.
(2) Penyelenggara diklat calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki izin atau terdaftar dan terakreditasi oleh Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja (LALPK).
Pasal 7
(1) Program diklat calon TKI berorientasi pada standar kompetensi kerja sesuai dengan kualifikasi kompetensi, jabatan, pengelompokan unit kompetensi tertentu (cluster), dan/atau kebutuhan pengguna yang dapat disusun melalui Analisis Kebutuhan Pelatihan.
(2) Program diklat calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci lebih lanjut dalam bentuk kurikulum dan silabus diklat calon TKI.
(3) Kurikulum dan silabus diklat calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun lebih lanjut sebagai materi diklat calon TKI dalam bentuk modul.
4
Pasal 8
Calon TKI setelah lulus diklat wajib mengikuti sertifikasi kompetensi kerja melalui uji kompetensi yang dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi profesi yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB III
EVALUASI DIKLAT CALON TKI
Pasal 9
Evaluasi diklat calon TKI meliputi:
a. program;
b. penyelenggaraan; dan
c. luaran.
Pasal 10
(1) Evaluasi program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, meliputi:
a. kurikulum dan silabus; dan
b. modul pelatihan.
(2) Evaluasi penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, meliputi:
a. instruktur;
b. tenaga kepelatihan;
c. sarana dan fasilitas; dan
d. pendanaan.
(3) Evaluasi luaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c menyangkut jumlah peserta yang dilatih dengan hasil uji kompetensi.
(4) Evaluasi dilaksanakan oleh Direktur Jenderal, Kepala dinas provinsi, dan Kepala dinas kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 11
(1) Pembinaan terhadap penyelenggaraan diklat calon TKI dilakukan oleh Direktur Jenderal, Kepala dinas provinsi, dan Kepala dinas kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap lembaga, instruktur, program, dan penyelenggaraan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan melalui perencanaan, bimbingan, konsultasi, fasilitasi, koordinasi, dan pengendalian.
5
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Menteri ini akan diatur oleh Direktur Jenderal.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Penyelenggaraan diklat calon TKI yang dilaksanakan oleh PPTKIS wajib menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lama 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
(2) Apabila PPTKIS dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini, dikenakan sanksi administratif sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
Dr. Ir. ERMAN SUPARNO, MBA., M.Si.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 340
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Hukum,
Sunarno, SH, MH